Saturday, November 21, 2015

Buka Dulu Topengmu, Sudirman Said!

Buka Dulu Topengmu, Sudirman Said! (I)

Panggung politik Indonesia terkini dihebohkan dengan sepak terjang Sudirman Said (Dirman), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Melalui Kompas TV, Dirman secara terbuka memaparkan dua isu bombastis yang membetot perhatian khalayak ramai. Pertama, Dirman membeberkan adanya politisi orang kuat dan ternama di DPR yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden, Jokowi-Jusuf Kalla, ihwal Perpanjangan Freeport. Kedua, mengenai permainan mafia migas legendaris yang bercokol di Petral.

Tak berhenti disitu, Dirman melanjutkan manuvernya dengan melaporkan politisi kuat itu ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI. Selang beberapa jam saja, transkrip pembicaraan politisi SN (Setya Novanto), pebisnis Migas (R), Reza, dan Presdir Freeport Indonesia (MS) Ma’roef Syamsoeddin muncul di media. Publik bisa berdebat soal motif dan materi rekaman itu. Yang jelas genderang politik sudah ditabuh Dirman sehingga menimbulkan kegaduhan politik di sana-sini.

Menarik untuk dicermati, apa motif di balik tindakan gaduh Dirman itu? Jika menilik apa yang terjadi pada beberapa hari sebelumnya, gambaran utuh terkait manuver Dirman itu akan mudah dibaca. Jelas disimpulkan di sini, Dirman baru mengerjakan siasat politik “lempar batu sembunyi tangan”, setelah serentetan usahanya mengurus proposal percepatan perpanjangan kontrak Freeport yang dia inisiasi melalui kementeriannya ( baca: http://www.jpnn.com/read/2015/11/17/339133/Beredar,-Surat-Sudirman-Said-Beri-Lampu-Hijau-ke-PT-Freeport,-Ini-Buktinya-) berlarut-larut dan mengalami proses mundur karena ditolak oleh presiden Jokowi. Bersama kolega bisnisnya, MRC, SN yang memang dikenal sebagai politisi lihai, tanpa urat malu, dan “kapal keruk” dari Senayan itu, masuk dalam jebakan “batman” dari jejaring bisnis Dirman, lantas dibukalah rekaman itu ke publik untuk menimbulkan kegaduhan guna menyembunyikan rasa malu Dirman di hadapan Jokowi.

Sejurus dengannya, kegaduhan politik ini juga bagian dari ikhtiar politik untuk mengalihkan catatan buruk kinerja Dirman dalam memimpin Kementerian ESDM, sekaligus membangun pertahanan diri agar tidak dicopot dari jabatannya. Dengan membuka rekaman dan mengadukan SN ke MKD DPR, Dirman menampilkan diri sebagai pembabat mafia migas dan tambang di sektor energi. Melalui jejaring media yang kuat di belakangnya, terutama majalah Tempo dan gerbong ideologisnya, Dirman mendesign kesadaran dan simpati publik bahwa dia adalah reformis sejati, yang sangat layak dan pantas untuk terus menjabat ESDM 1 (sebutan untuk Menteri ESDM). Target politiknya jelas: Jokowi akan dicerca publik jika mencopot Dirman, Sang Pemberantas Mafia Migas itu!

Tapi, tepatkah menyematkan predikat pemberantas mafia migas di kabinet Jokowi-JK pada sosok Dirman ini? Dari rentetan kebijakan dan perilaku politiknya, sebelum dan saat menjabat ESDM 1, jauh panggang dari api bahwa Dirman adalah sosok reformis, apalagi punya nyali membabat mafia migas. Publik ditipu mentah-mentah oleh suguhan informasi soal portofolio “manis” dia dalam aktivitas anti korupsinya, tanpa pernah menyinggung-nyinggung jejaring mafia bisnis migas yang mengitarinya. Tegas dikatakan di sini, Dirman adalah bagian dari jaringan mafia migas itu sendiri. Tugasnya satu dalam jejaring mafia ini: dipajang sebagai simbol antikorupsi untuk melancarkan dan mengamankan bisnis mafia di sektor migas dan tambang. Perannya itu dari dulu hingga kini, bahkan mungkin esok. Tidak berubah.

Dan jejaring mafianya akan turut runtuh jika dia dicopot dari jabatannya. Apalagi dia tahu posisinya kian terdesak karena Jokowi sudah tidak suka dengan agresifitas dia dalam pengamanan bisnis kolega-koleganya melalui kebijakan-kebijakannya, termasuk urusan perpanjangan kontrak Freeport, yang terlalu terburu-buru dan penuh jebakan bagi Pemerintahan Jokowi. Karena itu, manuver demi manuver dia lancarkan agar tetap meraup dukungan publik, sembari tak henti-henti menyajikan dilema bagi Jokowi.

Mari kita urai rentetan manuver politik Dirman beberapa hari belakangan ini. Bermula pada hari Jumat 6 November 2015 di Bandar Lampung, saat Dirman dan Rini Soemarno mendampingi Jokowi untuk kunjungan dan monitoring perkembangan proyek-proyek nasional di sana. Dirman dapat informasi, Presiden telah menyampaikan secara lisan ke Rini bahwa dia akan dicopot dari Menteri BUMN. Penyampaian lisan itu direspon Rini dengan muka masam khasnya karena sangat kecewa dengan keputusan Presiden.

Berita tidak sedap itu lantas menyebar ke tim inti Rini, termasuk Dirman. Sudah jadi rahasia umum bahwa Dirman merupakan bagian tidak terpisahkan dari Tim Rini, karena munculnya dan peran Dirman di Kabinet tidak lepas dari permainan seorang King Maker di balik layar yang bernama Ari Sumarno (banyak kalangan menyebut sebagai the Real ESDM 1), kakak kandung Rini Sumarno. (baca: http://www.rmol.co/read/2014/10/26/177341/Selamat-Datang-Mafia-Migas-Baru-di-Era-Jokowi-JK- dan http://www.merdeka.com/politik/sudirman-rini-soemarno-mewakili-mafia-migas-di-kabinet-jokowi.html).

Dirman merespon kejadian di Lampung itu dengan sangat cepat, karena jika Rini Sumarno dicopot, maka sudah pasti Dirman akan senasib. Segeralah Dirman menggerakan pasukannya, baik lini formal di Kementeriannya maupun melalui tim bayangannya, yang selalu mendampingi secara intens dalam menyusun strategi politik dan penggalangan opini media (yang diketuai oleh Muchlis Hasyim, pemain utama tabloid Obor Rakyat di era kampanye pemilihan presiden 2014, yang sangat gencar menyerang dan menebar kebencian pada Jokowi-JK melalui liputan dan artikel-artikelnya. (Baca: http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/24/tabloid-obor-rakyat-disebar-percetakan-muchlis-hasyim-di-bandung).

Dengan perancangan seadanya, Dirman membuat konferensi pers di Hotel Dharmawangsa pada Minggu sore, 8 November 2015. Dirman menyampaikan ke publik segala “prestasi semu”nya selama satu tahun sebagai ESDM 1. Harapannya tunggal: Jokowi akan mendengarkan itu dan berubah pikiran agar tak jadi mendepaknya dari Kabinet Kerja.

Dirman menganggap dirinya telah menuai banyak prestasi, sehingga pantaslah baginya tetap bertahan di Kabinet. Apakah gerakan politik Dirman tuntas di Dharmawangsa? Ternyata tidak. Senin 9 November 2015, Dirman perintahkan anak buahnya beriklan di media nasional, seperti Harian Kompas, Republika, Majalah Tempo dan lainnya untuk mengetengahkan “prestasi semu” satu tahun Dirman. Iklan satu halaman penuh di berbagai media yang jauh dari kata murah, tentu saja.

Apa urgensinya menghabiskan milyaran rupiah untuk ajang narsis itu? Publik juga sudah tahu, bahwa Dirman kedodoran dalam mengelola sektor energi dan memimpin ESDM. Dirman kerap disorot ragam media nasional cetak nasional dan online sebagai menteri yang buruk kinerjanya, karena banyak program kerja kementerian yang tidak jalan, serapan anggaran yang amat rendah, kekacauan di internal ESDM, soal penanganan BBM bersubsidi, proyek 35 Ribu MW yang kacau dan masih banyak persoalan lainnya. Serapan anggaran Kementerian ESDM hingga 18 November 2015 hanya 32,40%. (Baca: http://politik.rmol.co/read/2015/11/03/223193/Rini-Soemarno-dan-Sudirman-Said-Termasuk-Menteri-Berkinerja-Terburuk- dan http://ekbis.sindonews.com/read/999827/34/legalitas-pelantikan-eselon-i-esdm-dipertanyakan-1431323994. )

“Perjuangan media” bernilai puluhan milyar Dirman guna mendulang simpati publik dan untuk sekedar dinilai layak sebagai menteri itu berlanjut dengan “booking” paket wawancara ekslusif di Kompas TV pada hari Selasa 10 November 2015 (Baca: http://print.kompas.com/baca/1Llhn#). Melalui wawancara itu, Dirman menyampaikan dua hal utama: masalah Freeport dan Petral, dan membumbuinya dengan “drama” penyeretan pemain lain, yakni SN, yang telah secara lancang mencatut nama Jokowi dan Jusuf Kalla dalam persoalan Freeport. “Tembakan” peluru Dirman ke SN ini diharapkan bisa membelah kesadaran dan simpati publik, karena upaya penggalangan media hari-hari sebelumnya gagal meraup respon positif.

Dirman cerdas kali ini. Tembakannya ke SN menjadi headline di semua media dan menjadi perbincangan di mana-mana. Apa yang diharapkan sedikit banyak tercapai: munculnya persepsi Dirman sebagai sosok reformis dan pro pemberantasan mafia di sektor energi. Cukong dibalik itu semua ternyata bukan orang jauh, dia adalah Rini, yang bertindak sangat agresif mengkondisikan media pasca kejadian Lampung. Dirman yang merupakan satu kelompok dengan Rini diikutsertakan untuk “dijual” dalam operasi media.

Ada dua persoalan mendasar dari langkah konyol Dirman itu. Pertama, membuka isu-isu krusial yang bersifat strategis dan sensitif ke publik tanpa melaporkan sebelumnya ke atasannya, Jokowi. Kedua, kegaduhan yang muncul akibat dari tindakan cerobohnya. Langkah tidak beretika Dirman tersebut telah menciptakan kegaduhan baru yang cepat atau lambat akan menjadi beban di pundak Jokowi. Kekonyolan itu tidak juga berhenti di hari Selasa itu. Kompas selanjutnya memuat versi cetak dari wawancara Kompas TV itu pada Rabu, 10 November 2015.

Sampai artikel ini dikerjakan, Dirman tidak berani menyebut secara gamblang siapa politisi senayan yang dimaksud dalam kasus Freeport dan siapa mafia yang dimaksud dalam kasus Petral itu. Tapi Dirman terus melangkah dengan mengaduk-mengaduk pemberitaan media melalui pembukaan transkrip wawancara SN, R, dan MS, rekaman pertemuan, serta dokumen-dokumen lain yang dilaporkan olehnya dan Timnya, seperti Said Didu, ke MKD.

Ulah Dirman ini memantik gugatan, apa benar Dirman sosok yang pro dengan pemberantasan mafia dan korupsi atau semua ini dikerjakan olehnya semata-mata sebagai pertahanan terakhir di hadapan Jokowi, dengan memanfaatkan sentimen publik? Atau bahkan, Dirman sebenarnya sama saja dengan pihak yang dituduhkannya sebagai sosok mafia?

Jika dibuka rekaman wawancara Dirman di Kompas TV atau transkrip tertulisnya, di penutup wawancara reporter Kompas TV bertanya ke Dirman, “kadang mas Dirman dituding sebagai bagian dari mafia migas itu sendiri”, sambil tertawa Dirman menjawab “saya kira saya lawannya mafia”. Jawaban itu memunculkan kesan Dirman tidak yakin dengan jawabannya, karena hati nuraninya tahu persis perilakunya selama ini, yang sejatinya sama saja dengan perilaku para mafia lainnya. Kata-kata “saya kira”, bermakna ada kebimbangan di sana, yang sadar atau tidak menunjukan dilema batin Dirman: ucapan mulut yang ingin berbohong dengan nurani yang tidak bisa mengampuni perangai jahatnya. (Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=XdAKznBIWZ4 pada menit 9:40-10:00).
Lantas siapa Dirman ini? Anak desa dari Brebes ini mulai masuk Jakarta dengan menempuh pendidikan di STAN. Berbekal pendidikan yang dimilikinya, yang bersangkutan mencoba merintis kiprahnya secara nasional. Bagi publik yang awam, sosok Dirman dikenal sebagai penggiat anti korupsi melalui NGO, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). Dirman berhasil membangun persepsi bahwa dia lahir dari rahim komunitas yang memperjuangkan keterbukaan dan perlawanan atas korupsi. Dia juga dikenal sebagai sosok yang banyak terlibat dalam penataan bisnis TNI, dan juga penggiat pengembangan SDM.

Karir politik Dirman bermula ketika dia masuk sebagai anggota Tim Penataan Bisnis TNI, sebagai amanat UU Pertahanan. Melalui jaringannya di MTI, Dirman masuk ke kancah politik nasional lewat aktivitasnya di Tim itu. Dari sana, Dirman berkenalan secara luas dengan tokoh-tokoh bisnis, militer, dan politik. Sosoknya yang supel dan kegemarannya menjual-jual MTI memudahkan dia menjalin keakraban ke semua tokoh. Tak susah bagi Dirman untuk melambungkan karirnya di dunia profesional dan bisnis, karena jejaring bisnis, politik, dan militer sudah dia rajut secara apik. Dan kelindan kepentingan tokoh-tokoh politik-bisnis-militer itu dia maksimalkan betul nantinya, saat dia “bosan” menjadi aktivis anti korupsi, dan beralih ke professional-pebisnis, namun ogah menanggalkan kegagahan predikat “aktivis” dari dirinya. Ya, bagian dari mafia migas yang juga “aktivis” antikorupsi.


Namun, jika mendengar kesaksian orang-orang terdekat yang paham sepak terjang Dirman, prasangka baik yang selalu dia bangun melalui jaringan medianya akan runtuh seketika. Dirman adalah frontman dan operator lapangan. Dia digembleng oleh para mentornya untuk jadi aktor depan yang manis dan patuh, sebagai siasat dan taktik untuk mengelabui (deceptive action) lawan dan publik. Modus operandinya dengan menciptakan kesan kuat-kuat pada Dirman sebagai sosok pro pemberantasan mafia dan anti korupsi. Sementara di balik semua itu perencanaan jahat terus dikerjakan, yakni menjadikan Dirman sebagai sumbu bagi penggarongan kekayaan negara secara sistemik, terencana, dan halus, yang dikerjakan secara bersama dan rapi oleh mafia migas di belakangnya. Selamat mas Dirman!

Buka Dulu Topengmu, Sudirman Said! (II)

Dirman Sang Mafia: Bermula dari Pertamina
Semua kisah tentang Dirman bermula di Pertamina. Endriartono Sutarto, mantan Panglima TNI Era SBY, yang menjadi Komisaris Utama (Komut) Pertamina, (sempat punya hubungan “manis” dengan Rini Sumarno), merupakan sosok penting yang membawa Dirman ke Pertamina. Endriartono menitipkan Dirman ke Ari Sumarno, Dirut Pertamina kala itu. Oleh Ari, Dirman dijadikan staf ahli Dirut, dan selanjutnya diberi tugas sebagai Senior Vice President (SVP) untuk Integrated Supply Chain (ISC). Endriartono menenteng Dirman ke Pertamina karena kecerdikan Dirman mengambil hatinya ketika masih jadi Tim Penataan Unit Bisnis TNI. Satu paket dengan Dirman adalah Karen Agustiawan (sosok yang pada akhirnya menggantikan Ari sebagai Dirut) dan Widhyawan Prawiraatmadja (saat ini Staf Ahli Menteri ESDM).

Pasca Endriartono, Ari Sumarno adalah sosok utama yang mengisi hari-hari Dirman selanjutnya. Tak terlalu lama bagi Dirman untuk merajut hubungan batin dan bisnis dengan Ari. Siapa sesungguhnya Ari dan apa peran Ari bagi Dirman? Ari Sumarno merupakan pegawai karir di Pertamina yang mengawali kerjanya di bagian pengolahan. Karirnya sesungguhnya sudah tamat pada awal 1990-an, ketikadia terbukti melakukan penyimpangan dalam pembangunan Kilang LNG Bontang. (Baca: http://finance.detik.com/read/2006/03/08/195905/555082/4/ari-soemarno-dirut-pertamina-yang-pernah-terpinggirkan dan http://www.jokowinomics.com/2015/06/24/opini/kejahatan-ekonomi-ari-soemarno/). Jabatan Ari diturunkan dan tidak diberikan kewenangan apapun. Namun, karena kelihaiannya, kartunya selalu hidup.

Pasca reformasi, Ari dipromosikan menjadi Presiden Direktur Petral Singapura, perusahaan yang menjadi trading arms Pertamina dalam memasok minyak mentah dan BBM untuk kebutuhan dalam negeri. Saat Ari Sumarno menjabat Presdir Petral, ada dua sosok penting yang membantunya: yaitu Hanung Budya (terakhir menjabat selaku Direktur Pemasaran Pertamina) dan Daniel Purba (saat ini menjabat SPV dari ISC). Tapak-tapak mafia Ari di sektor migas mulai dilangkahkan di Petral ini.

Petral adalah pintu masuk bagi para mafia migas mengejar rente ekonomi Republik ini. Di era keemasan Orde Baru, Petral menggandeng Permindo (milik Bob Hasan dan Bambang Trihatmodjo Soeharto) untuk bersama mencari rente ekonomi. Di balik Permindo, ada sosok God Father yang memegang kendali kunci yang mengatur semua rantai bisnis pasokan minyak mentah dan BBM ke Indonesia. Dia adalah NASRAT MUZAYYIN. (http://concordenergygroup.com/about-us/our-people/knowledge-base/). Cukong migas pemegang paspor Libanon ini adalah tokoh sentral tersembunyi yang menjadi GURU BESAR dari semua para mafia migas di Indonesia, termasuk Dirman! Tak banyak kalangan yang bisa mengendus sosok satu ini.

Runtuhnya Orde Baru bukan berarti kiamat bagi Nasrat. Pengalaman dan kepiawaiannya menelusuri seluk beluk bisnis migas mengantarkan salah satu anak didiknya, Ari, ketampuk puncak kendali Petral. Selang beberapa waktukemudian, Muhammad Reza Chalid/ the Legend, salah satu murid Nasrat lainnya, diberi akses luas Purnomo Yusgiantoro (waktu itu Menteri ESDM) untuk masuk dan “belajar” di Petral, sekaligus berkongsi dengan Ari. Kekosongan Permindo, diisi oleh Reza dengan dukungan penuh Ari dan Nasrat. Di fase inilah seorang Reza yang masih lugu dengan bisnis minyak dibimbing dan digembleng oleh Nasrat, Sang Guru Besar. Hubungan mesra empat serangkai ini, Nasrat-Purnomo-Ari-Reza, berjalan terus dan mulus selama beberapa tahun. Sampai pada satu titik, sang Guru Besar, Nasrat, merasa murid utamanya, Reza, mulai menggangu dan mengusik area nyaman yang selama ini ia nikmati di Petral dan Pertamina. Reza, adalah murid yang cerdik dan lihai, yang menyalip gurunya, Nasrat.

Ari hanya kurang dari 3 tahun di Petral. Pada tahun 2004, dia dipromosikan menjadi Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina. Posisinya di Petral digantikan oleh Hanung Budya dan posisi Hanung selaku VP digantikan oleh Daniel Purba. Kedua nama terakhir inilah yang menjadi operator dari Reza dalam melebarkan bisnis pengadaan minyak mentah dan BBM dalam negeri. Di waktu bersamaan, Sang Guru Besar, Nasrat, pelan tapi pasti tersingkir dari gelanggang permainan, hingga akhirnya, Reza mengambil alih kendali. Merasa bahwa Reza makin kuat dan berkuasa, Nasrat komplain ke Ari. Hubungan keduannya renggang. Melalui Purnomo Yusgiantoro, waktu itu, terumuskanlah satu formula kesepakatan antara sang Guru dan muridnya, dalam bisnis pengadaan minyak mentah dan BBM Pertamina. Nasrat, karena sudah kenyang puluhan tahun mendapat porsi 30%, dan Reza memegang 50% dari total pasokan yang dibutuhkan. 20% sisanya dibagi-bagi untuk akomodasi pihak lain.

Perdamaian bisnis ini adalah jalan emas bagi Ari Sumarno sebagai pebisnis. Karena loyalitasnya selama ini pada Nasrat, Ari mendapatjatah saham 35% di Concord Energy, milik Nasrat (http://concordenergygroup.com/about-us/our-people/knowledge-base/). Ari lantas mendudukkan puteranya, Yuri Soemarno, sebagai salah satu Direktur di Concord Energy. Lewat bendera Concord, Ari mulai gagah dalam dunia bisnis migas, dan secara pelan berani mengurangi porsi Reza. Kompetisi bisnis Reza dan Ari dimulai! Dari yang semula bertindak sebagai tandem bisnis dan sahabat, Ari berbalik menjadi orang terdepanyang berhasrat mengubur Reza dan kerajaan bisnisnya.

Melalui back up Concord Energy dan kolaborasi dengan sang Guru Besar, Ari lantas diangkat sebagai Dirut Pertamina, pada tahun 2008. Di Pertamina era Ari, muncul tiga aktor migas baru yang langsung berkoordinasi ke Ari, yaitu Dirman, Widhyawan Prawiraatmadja, dan Karen Agustiawan. Tiga sosok baru itu memperkuat Ari sehingga dirinya tambah yakin bisa melumat Reza dengan Petralnya. Skenarionya, Ari bakal mendorong Concord Energy sebagai pengganti Petral via PT Pertamina Integrated Supply Chain (ISC Pertamina), dengan pola transasi belakang layar sebagai business arranger. Ari konsisten membabat Reza dan membuka jalan seluas-luasnya bagi gurunya, Nasrat, untuk kembali menguasai.

Kembali ke Dirman. Ia adalah sosok yang culun dan biasa saja dalam percaturan bisnis migas. Kelebihannya satu saja: sangat patuh dan tunduk ke Ari. Tak lebih. Dirman yang awalnya jadi staf ahli Dirut, lantas ditugasi sebagai SPV di ISC, unit baru yang dibentuk untuk menggantikan peran Petral (yang masih dikuasai Reza) dalam pasokan minyak mentah dan BBM nasional. Ditaruhnya Dirman di ISC adalah upaya kamuflase atas rencana jahatnya guna melapangkan jalan Concord Energy menguasai bisnis migas Pertamina. Dirman secara sadar menutupi wajahnya dengan topeng aktivis antikorupsi dan memperalat MTI, untuk jadi tameng bagi tujuan bisnis jahat mafia migas. Begitulah modusnya. Sederhana tapi sukses mengelabui publik. Selalu direkayasa ke publik bahwa ISC adalah antithesis dari Petral, dipimpin sosok anti korupsi, Dirman, dan karenanya patut didukung Presiden dan publik. Sehingga agenda-agenda busuk yang sudah dirancang para mafia migas, Ari, Nasrat, dan Dirman dapat berjalan mulus.

Untuk back up di lini pengadaan migas, Ari memanggil pulang adik seperguruannya, Daniel Purba,dan memberinya jabatan VP di ISC, guna membantu Dirman yang selalu lugu namun patuh. Daniel Purba masih muda saat itu. Karenanya, meski dia banyak memfasilitasi Reza di Petral, tapi masih bisa dipengaruhi, digandeng, dan dijadikan operator untuk mengeksekusi kepentingan Ari. Terbukti sampai sekarang, tiga serangkai Ari Sumarno, Dirman dan Daniel Purba masih berjalan mesra. Hanung karena tidak tunduk pada Ari, akhirnya disingkirkan.

Melalui perancangan mereka, praktis Petral kehilangan pengaruhnya. Saat itulah mesin ISC dihidupkan untuk siap-siap take off bersama dengan Concord Energy yang dipiloti oleh Nasrat. Dirman, selaku pendatang baru di bisnis ini, mulai dikenalkan dengan Nasrat dan Concord Energy. Ari perintahkan Dirman untuk mendownload ilmu mafia dari Nasrat dan Daniel Purba. Dan sukseslah Dirman menjadi keluarga besar salah satu mafia migas di Republik tercinta ini. Selamat datang mas Dirman, welcome to the Club!!!

Sesungguhnya Ari, Reza, Dirman, Daniel, Hanung dan lain-lain memiliki satu guru, Nasrat. Pembeda mereka tegas: Reza bisnis melalui Petral sebagai periuk utamanya, sedangkan Ari dan Dirman memakai Concord Energy dan ISC sebagai ladang penghisapan minyak. Dalam hal ini Ari dan Dirman setia dengan sang Guru, Nasrat.

Mari kita lihat apa yang dilakukan Dirman pertama kali memimpin ISC. Selang beberapa hari dilantik, November 2008, dia langsung terbang ke London bersama Daniel Purba dan menginap di Rizt Carlton untuk bertemu dengan Perusahaan Minyak Nasional (NOC) Libya yang difasilitasi oleh Concord Energy. Pertemuan itu menyepakati Perusahan Migas Libya itu memasok minyak mentah ke Pertamina dengan harga yang telah diatur. Dirman meyakini deal ini ada di bawah kewenangannya karena sudah “direstui” oleh Ari selaku Dirut. Saat itu juga Dirman menandatangani Sales and Purchase Agreement atas nama ISC Pertamina untuk volume 4 juta barel minyak mentah.

Penunjukan langsung dari Dirman itu jelas melanggar prosedur tata cara pengadaan minyak di Pertamina. Tidak ada klausul mengenai penunjukan langsung. Semua pengadaan harus dilakukan dengan mekanisme tender, termasuk jika ada NOC dari sebuah negara ingin ikut memasok minyak ke Pertamina. Prosedur lain yang dilanggar adalah tidak adanya persetujuan dari 3 Direktur lainnya di Pertamina sebelum sebuah dokumen pengadaan minyak ditandatangani.

Bagi Dirman, itu hanyalah sebuah prosedur formal yang tidak ada artinya. Namun, bagi pihak yang mengerti pola bisnis minyak yang berlaku di dunia internasional, upaya tidak transparan Dirman (yang selalu mengklaim dirinya sebagai tokoh Masyarakat Transparansi Indonesia) merupakan sebuah kejahatan bisnis. Seperti biasanya, penyesatan publik diskenariokan dan dilancarkan dengan penjelasan bahwa dealing langsung ke NOC dan tidak melalui trader akan menjadikan harga beli minyak lebih murah, tanpa ada fee atau pengeluaran lain. Ini berbeda dengan mekanisme tender di Petral, yang selalu memakai trader. Begitulah penyesatan, sekaligus, pembenaran Dirman untuk menyembunyikan praktek bisnis yang sesungguhnya: melangengkan bisnis Concord Energy.

Bagaimana sesungguhnya modus operandi ISC melalui NOC tersebut? Pola yang dibangun sangatlah halus dan canggih untuk ukuran Indonesia, di mana transaksi semua itu dilakukan di Luar Negeri dan memiliki underlying documents yang lengkap.

Praktek kejahatan bisnis Ari dan Dirman bisa dilacak dari pertemuan Dirman dan NOC Libya di London itu, yang penuh perancangan matang sebelumnya. Peran dari Nasrat dan Concord Energy,dan Ari Sumarno sangatlah sentral. Nasrat-lah yang mengatur deal semua bisnis. Untuk setiap barrel yang dipasok ke Pertamina melalui ISC, NOC Libya harus berkomitment membayar sejumlah fee kepada Concord.

Lantas, apa bedanya Concord Energy dengan ISC, dan perusahan Reza dengan Petral? Yang satu melalui satu proses yang seakan-akan transparan melalui tender di Petral, dengan Reza penguasanya, dan satunya lagi melalui proses tertutup negosiasi dengan NOC via ISC, dengan Concord Energy memainkan seluruh perancangan bisnisnya. Ujungnya adalah rent seeker ekonomi. Sama-sama mengutip dollar dari tiap barrel BBM yang dipasok ke Pertamina.

Namun, wajah Dirman selalu dihiasi topeng antikorupsi. Rencana jahat itu tinggalah rencana. Dokumen penunjukan langsung yang sudah diteken Dirman di London, yang tidak transparan dan melanggar prosedur itu, seharusnya efektif pada bulan Juni 2009. Pesta yang diharapkan terjadi, bubar lebih awal.Awal 2009, Ari Sumarno dipecat dari Dirut Pertamina, digantikan oleh Karen Agustiawan, anak didiknya sendiri. Perjanjian yang sudah diteken Dirman bersama dengan NOC Libya dibatalkan oleh Karen. Selain itu, Dirman dimutasi dari ISC, karena sudah menjadi jangkar praktek bisnis kotor Ari dan Nasrat.

Jadi, adalah kebohongan kalau didepaknya Dirman dari SPV ISC karena semata-mata desakan dari Reza. Sejarah membuktikan bahwa diberhentikannya Dirman dari SPV di ISC lebih dominan karena hasrat yang menggebu-gebu dalam menggelar karpet merah ke Concord Energy dengan cara menampik aturan hukum dan mengkhianati asas transparansi.

Reza, Ari, dan Dirman setali tiga uang: berasal dari satu Guru, dan mencari keuntungan untuk diri dan kelompoknya dengan memperalat jabatan dan menginjak-injak hukum. Jika Dirman mengeksploitasi ketidaktahuan publik melalui opini bahwa Petral dan Reza itu mafia, sesungguhnya pula dia dan Ari, bersama Nasrat, juga mempraktekkan hal sama dalam bentuk lain. Intinya, mereka—Dirman di dalamnya ikatan—adalah korps mafia.

Publik selama ini telah ditipu habis-habisan. Penyamaran cantik Dirman senantiasa berhasil karena bertopeng pendiri MTI dan pejuang anti mafia melalui usahanya untuk membubarkan Petral. Padahal, perangai yang ditunjukannya tidak lebih dan tidak kurang sama dengan kelakuan orang yang dituduhkan olehnya sebagai mafia. Inilah yang sering disebut pepatah sebagai serigala berbulu domba!

Lihatlah kebijakannya tentang audit forensik Petral. Mengapa audit forensik yang dilakukan Dirman atas Petral hanya diberlakukan dalam kurun waktu 2012 s.d 2014? Mengapa audit tidak dimulai sejak tahun 2001, saat Ari jadi Dirut Petral dan Direktur Pemasaran Pertamina, saat Ari masih mesra bergandengan dengan Reza? Pertanyaan serupa juga berlaku atas ISC itu sendiri pada saat Dirman selaku SPV di ISC. Jika tidak ada niat yang busuk untuk menyembunyikan sesuatu, tentunya tidak ada alasan untuk membatasi jangka waktu audit forensik tersebut. Jelas bagi Dirman, mengaudit sang mentor, Ari, dan sang Guru Besar, Nasrat, merupakan tindakan tak terpuji bagimurid dan loyalis terbaik.

Sosok yang dikesankan suci, baik, anti korupsi, pro transparansi dan anti mafia ini sesungguhnya sedang memainkan lakon bertopeng: anti korupsi. Skenarionya disusun mentornya utamanya, Ari. Dan Dirman sungguh menikmati lakon yang ia perankan itu, hebatnya lagi dengan sukses. Sekali lagi, selamat Dirman.

Buka Dulu Topengmu, Sudirman Said! (III)

Selepas dicampakkan dari ISC Pertamina karena kelakuannya yang tidak transparan, Dirman ditampung oleh Indika Energy, satu perusahaan energi dan migas nasional. Kariernya di awali dari Direktur SDM di Petrosea, anak perusahaan Indika Energy,selanjutnya jadi Direktur SDM di holding Indika Energy. Pengabdian Dirman di Indika ini akan mewarnai sepak terjang Dirman selanjutnya dalam dunia persilatan energi dan sumber daya mineral tanah air.

Selepas dari Indika Energy, Dirman jadi Dirut Pindad, perusahaan plat merah yang bergerak di alat persenjataan dan kendaraan tempur. Masuknya Dirman di Pindad tidak lepas dari peran Syafrie Syamsoeddin (waktu itu menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan). Poros Dirman dan Syafrie tercipta pada saat Dirman menjadi bagian dari Tim Penataan Unit Bisnis TNI. Hubungan tersebut berlanjut pada saat Syafrie jadi Wakil Menhan, dan Purnomo Yusgiantoro sebagai Menterinya. Syafri-lah yang merekomendasikanDirman kepada Menteri BUMN untuk diangkat sebagai Dirut Pindad. Dirman di Pindad dan hubungan hangatnya dengan Syafrie juga turut mewarnai sepak terjang Dirman sebagai ESDM 1 sekarang.

Terpilihnya Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wapres membawa angin baik bagi Dirman. Dia menjadi kuda hitam dari beberapa calon kuat yang berpotensi ditunjuk menjadi ESDM 1. Nama sang mentor, Ari Sumarno sangat santer diperbincangkan bakal menjadi ESDM 1 pada saat penyusunan Kabinet Kerja. Hal ini wajar karena memang Ari merupakan tim inti Jokowi/JK di bidang energi. Bagi Ari, peluang untuk menjadi ESDM 1 merupakan satu kesempatan emas yang harus direbut dan diperjuangkan, karena memang “pesta besar” yang belum sempat terselenggara pada saat dia dan Dirman masih di Pertamina tahun 2009 silam, tentu saja harus dibayar tuntas.

Lacur bagi Ari, Jokowi dan JK ingin menempatkan sang adik, Rini, memimpin gerbong BUMN. Janggal rasanya, jika dalam satu kabinet terdapat 2 menteri yang memiliki hubungan adik kakak. Melalui pertimbangan taktis, strategis dan politis, akhirnya Jokowi-JKmemilih Rini, sedangkan sang kakak, Ari, mesti bersabar karena tersisih dari kabinet.

Bagi Ari, kegagalan menjadi ESDM 1 bukanlah akhir dari cerita. Dia bertekad untuk tetap menguasai sektor energi, langsung dirinya atau melalui kepanjangan tangannya. Batal jadi menteri, Ari tak kurang akal: menyodorkan kader terbaiknya, Sudirman Said aka Dirman! Namun, menyorongkan nama Dirman keJokowi tentunya akan sulit, jika dilakukannya sendiri bersama Rini. Wajar saja, karena Jokowi tidak kenal Dirman, dan Dirman sosok tanpa prestasi di dunia migas.

Ari lantas membentuk tim untuk meyakinkan Jokowi bahwa Dirman adalah pilihan terbaik menjadi ESDM 1. Team up dilakukan melalui jaringan Makasar, di bawah komando JK, dan Syafrie serta Said Didu (atas perintah JK, Said Didu didorong Dirman menjadi Dirjen Minerba, dalam rangka mengamankan agenda Perpanjangan kontrak Freeport. Jokowi sadar, dan menolak mentah-mentah Said Didu. Baca

Selain menggalang dukungan politik, Ari dan JK membangun aliansi ekonomi dengan merangkul Indika Group, salah satu “rumah bisnis” Dirman. Tim inilah yang bekerja secara sistematis dan terstruktur untuk meyakinkan Jokowi melalui JK dan Rini, ketua Tim Transisi kala itu.

Tipu daya mereka tidaklah sia-sia. Saat pengumuman kabinet Kerja, nama Dirman didapuk sebagai Menteri ESDM. Tidak ada yang menyangka bahwa sosok ini yang akan dipercaya menduduki jabatan ESDM 1. Para pelaku bidang energi dan sumber daya alam terbengong-bengong dengan ditunjuknya Dirman sebagai ESDM 1. Selain tidak menjadi perbincangan publik, background pendidikan yang tidak nyambung, pengalaman Dirman di bidang energi yang tidak berurusan dengan kepakaran teknis dan bisnis, tapi lebih ke pelatihan SDM di sektor energi.

Selanjutnya di kabinet kerja, terbentuklah poros bisnis baru antara JK, Rini dan Ari, serta Dirman tentu saja. Jabatan Dirman sangat strategis. Dialah kunci dalam irisan koalisi bisnis di sektor energi, karena pengendali kebijakan dan teknis di sektor energi di kabinet. Irisan bisnis JK dan Dirman terjadi di perpanjangan kontrak Freeport. Irisan bisnis Dirman dan Rini/ Ari terjadi diurusan pengadaan minyak mentah dan BBM di Pertamina. Koalisi JK, Rini dan Dirman juga terjadi di pengadaan listrik 35 ribu MW di PLN. Karenanya, JK, Rini dan Ari akan selalu melindungi Dirman dari serangan politik apapun, termasuk kepretan dari Rizal Ramli. Baca

Akal-akalan Dirman di Freeport

Keterlibatan Dirman dan para kolega bisnisnya di Freeport bermula dari masa transisi kekuasaan SBY ke Jokowi (pada saat itu sudah ada Presiden/ Wapres terpilih). September 2014, saat kunjungan terakhir SBY ke New York untuk menghadiri sidang PBB, dirancang satu rencana penandatanganan MOU antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia. Intinya, MoU itu memuat beberapa poin kesepakatan terkait dengan rencana amanden Kontrak Karya sebagaimana disahkan oleh UU No. 4 tahun 2009 dan juga nasib operasi Freeport pasca 2021.

Pihak Pemerintah yang aktif saat itu adalah Chairul Tanjung, pengganti Jero Wacik yang ditahan KPK. Sebelum rencana puncak di New York tersebut, ternyata, Kantor Pusat Freeport di Amerika di lobby oleh Tim JK, diketuai oleh Sofjan Wanandi, agar rencana teken MOU itu dibatalkan saja, dan ditunda sampai pemerintahan baru terbentuk, agar kepastian bisnis lebih terjaga. Sofyan Wanandi memanggul misi JK, meyakinkan dan memastikan operasi Freeport akan aman pasca 2021. Bujukan maut Sofyan menuai hasil manis. Dokumen MOU yang sudah siap diteken Chairul Tanjung batal dan ditunda.

Untuk menunaikan janjinya kepada Freeport secepat-cepatnya, JK harus memastikan bahwa ESDM 1 haruslah “orangnya”. Karenanya, Dirman dipasang jadi ESDM 1, dengan back up koalisi JK, Ari, dan Rini. Di sinilah Dirman memainkan kuncinya. Kebijakan-kebijakannya terkait Freeport persis sama dengan perancangan bisnis JK, Ari dan Rini. Di sinilah kepatuhan Dirman mendapat nilai tertinggi dari JK, Ari, dan Rini.

Untuk pengamanan di level operasional, JK meminta James Moffett, petinggi Freeport, untuk mengganti jajaran Direksi Freeport Indonesia. Perancangan berjalan dengan menunjuk Maroef Sjamsoeddin—adik kandung Sjafrie Sjamsoeddin—yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Kepala BIN, menjadi Dirut PT Freeport Indonesia.

Perancangan terbaik lahir dari JK: memegang kendali dua lini, yaitu pengendali kebijakan, Dirman, dan pengendali operasional, Makroef. Selanjutnya tinggal meyakinkan Jokowi bahwa Freeport ini penting bagi investasi di Indonesia, dan karenanya mesti dibantu percepatan perpanjangan kontraknya. Janji JK dan Dirman kepada Freeport untuk memutuskan perpanjangan kontrak pada akhir 2014 gagal dipenuhi Dirman. JK dan Dirman berkali-kali gagal meyakinkan Jokowi, dan berujung pada molornya perpanjangan kontrak sampai dengan saat ini. Bahkan Freeport merasa frustasi dengan kinerja Dirman, yang banyak maunya tapi gagal memenuhi janji.

Motif bisnis adalah alasan terbesar JK dan Dirman “membantu” Freeport mendapatkan kepastian operasi pasca 2021. Mereka bukan pebisnis kacangan. JK dan Dirman bahkan sudah memetakan peluang bisnis mana saja yang akan dikerjakan oleh Bukaka Group, Bosowa Group dan Indika Group. Bosowa akan memasok semen untuk pembangunan; penerangan tambang bawah tanah akan dipasok Bukaka; Indika akan mendapat proyek pasokan bahan peledak, pembakit listrik tenaga air dan lainnya (http://www.kompasiana.com/fikarahmaningsih/sudirman-said-penjaga-kepentingan-jk-di-freeport_55fe5be40223bd1f206d31e9).

Tidak mengherankan, di media massa Dirman diangap sebagai Menteri yang sangat bersemangat dan agresif memperjuangan Freeport Indonesia, sebelum “dikepret” oleh Rizal Ramli di bulan September baca. Dirman kalap dan membabi buta melayani Freeport, apalagi Freeport sudah protes atas keterlambatan janji Dirman. Meski begitu, Freeport masih support dan memberikan apapun permintaan Dirman antara lain beberapa kontrak pengadaan ke Indika Group.

Indika Energy yang sejak lama eksis di Freeport tentu saja ingin memperdalam pengaruhnya di sana. Dirman bahkan meminta Freeport untuk memberi porsi bisnis lebih besar kepada Indika Group. Upaya Dirman tidak sia-sia. Petrosea, anak usaha dan Dirman pernah jadi Direktur, mendapatkan proyek pembangunan tanggul lumpur senilai US$ 30 juta per tahun. Selanjutnya, penguasaan wilayah kerja Wabu yang akan dikembalikan Freeport ke Pemerintah RI, diminta Dirman untuk diberikan ke Indika. Banyak lagi kegiatan yang bernilai puluhan bahkan ratusan jutaan US$ yang sudah dikondisikan untuk dibagi secara cantik antara Bukaka, Bosowa dan Indika. Kunci semua itu tentu saja Dirman, Sang Pemberantas Mafia Migas.

Itulah Dirman sesungguhnya. Saat terdesak, karena lamat-lamat tercium aroma busuknya di bisnis Freeport dan bahkan akan dicopot dari menteri, dia permainkan rakyat melalui manuver rekaman pembicaraan Ma’roef Sjamsoeddin dan Setya Novanto, yang direkam Ma’roef. Terlepas apapun materinya, persekongkolan perekaman dan publikasi ke publik tentang pertemuan itu bisa saja memenjarakan Dirman dan Ma’roef.

Maroef Sjamsoeddin sebagai Dirut perusahaan asing di Indonesia, bukanlah aparat penegak hukum atau petugas intelejen negara. Ia merekam percakapan dirinya dan membuka ke publik. Lebih parahnya lagi, rekaman itu dipakai Dirman menggalang simpati publik. Pertemuan itu sendiri sudah terjadi 4 bulan lalu dan baru dibuka Dirman di saat kondisinya genting, dan ketika tahu dirinya akan dicopot Jokowi. Apa motif Dirman membuka semua ini ke publik? Apakah karena dia pro pemberantasan korupsi atau dia sudah dalam posisi tidak ada nilai jual karena mau diganti?

Jika melihat kelakuan Dirman atas Freeport yang turut mengkapling-kapling bisnis dan mendorong Indika Group, memfasilitasi Bukaka dan Bosowa masuk, tentu bisa dipastikan Dirman sama busuknya dengan orang yang dia ungkap ke publik sebagai politisi yang busuk. Bedanya adalah soal cara. Jika klaim di rekaman itu benar, politisi itu masih menggunakan cara sangat tradisional, sementara Dirman dan timnya menggunakan cara yang lebih maju. Tapi keduanya sama saja, yaitu pemburu rente! Dirman tahu benar memanfaatkan ketidaktahuan publik atas kelakukannya di Freeport, sehingga rekaman itu dijualnya untuk menangguk kesan positif dari publik, bahwa Dirman selalu pejuang anti korupsi dan karenanya suci.

ISC, Daniel Purba dan Modus National Oil Corporation (NOC)

Pola transaksi dengan NOC Libya yang dicoba terapkan tahun 2009 saat Dirman menjabat sebagai SVP ISC dipakai lagi saat ini. Kali ini ISC dikomandoi oleh Daniel Purba. Transaksinyamasih mengandalkan pola yang sama: melibatkan sang Guru Besar, Nasrat,dan Concord Energy-nya selaku pengatur deal Pertamina ISC dengan NOC tertentu.

Daniel Purba berulang kali mengajukan usulan pergantian prosedur tata cara mendapatkan pasokan migas, yakni dengan cara penunjukan langsung ke NOC. Upaya Daniel tersebut terganjal Dwi Soetjipto, Dirut Pertamina, yang sampai hari ini mendiamkan usulan itu dan ogah menandatanganinya. Dwi tahu persis siapa otak dari semua ini, tak lain dan tak bukan adalah Ari dan Dirman.

Sikap tidak kooperatif Dwi berbuah murka dari Dirman dan Ari melalui Rini. Sembari terus menekan Dwi untuk segera meneken perubahan tata cara, Dirman sangat rajin menyambangi berbagai NOC di Timur Tengah, seperti Aramco, Ednoc, Kuwait Petro dll. Gencarnya Dirman beranjangsana ke NOC haruslah dicermati secara cermat dan serius. Tidak ada sejarahnya, Menteri ESDM begitu getol mendatangi NOC. Hanya Dirman seorang.

Belajar dari kasus 2008, ketika Dirman menjabat SVP ISC dalam kasus NOC Libya yang dibidani Nasrat melalui Concord Energy, pola serupa diterapkan oleh Daniel Purba. Design kerjasama apik itu disusun bersama Daniel Purba, Dirman dan Ari Sumarno. Tiga serangkai tersebut sering bertemu di bilangan Bundaran Hotel Indonesia untuk menyusun rencana busuk dalam rangka menyukseskan ISC dan Concord Energy dalam memasok minyak mentah dan BBM ke Indonesia.

Cara Dirman Main di Hulu Migas

Petualangan bisnis Dirman tak kenal lelah. Bukan saja di Pertamina dan Freeport, Dirman juga main di kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia. Bahkan Dirman sudah perintah ke Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas, untuk menyetujui change order berjumlah jutaan US$ di proyek Donggi Senoro. Akibatnya, cost recovery yang harus dibayar oleh negara meningkat drastis. Tripatra, anak usaha Indika Group, menjadi kontraktor di proyek itu atas pesanan Dirman. Dirman juga mengawinkan Pelindo 3 dengan Petrosea membangun pelabuhan dan shorebase logistic di Kupang untuk menjadi pangkalan logistik proyek Abadi Masela.

Satu hal yang juga mengejutkan dari Dirman: memberi perpanjangan kontrak Bagi Hasil ONWJ kepada PT Energi Mega Persada Tbk (EMP), Grup Bakrie, padahal operator Blok itu adalah Pertamina. Banyak kalangan juga tahu bahwa EMP di Blok itu tidak baik kinerjanya, dan karenanya sudah semestinya Blok yang dioperasikan oleh Pertamina itu dialihkan hak pengelolaan sepenuhnya ke Pertamina. Sementara di Blok Mahakam, Dirman begitu semangat memberikan 100% kepada Pertamina. Apa yang dimaui Dirman? Keputusan aneh Dirman ini merupakan desakan dari Rini yang ingin memberikan konsesi kepada Bakrie Group. Parahnya lagi, Dirman menyerahkan Blok Gebang di Sumatera Utara kepada EMP Group, padahal di sana Pertamina mengusai 50% saham.

Dirman, Private Jet dan Helikopter

Dirman sepertinya tau bagaimana memaksimalkan jabatannya sebagai ESDM 1 untuk mendapatkan fasilitas mewah dan kemudahan-kemudahan dari pebisnis migas. Dirman kerap meminta fasilitas pesawat jet pribadi maupun helikopter pribadi untuk tugas kedinasannya. Tidak perlu minta pendapat aktivis anti korupsi yang “hebat” seperti Dirman ini apakah fasilitas itu gratifikasi atau tidak, karena publik awam pun tahu itu jelas-jelas gratifikasi. Dirman bisa diseret ke KPK karenanya.

Memang nikmat bagi seorang Dirman pergi dinas tanpa harus sibuk-sibuk antri dan mengikuti prosedur sebagai penumpang pesawat komersial. Dirman jelas mengabaikan kebijakan Jokowi yang meminta para pejabatnya mengedepankan kesederhanaan bukan kemewahan. Atau, jangan-jangan Dirman—dengan dukungan politik, media, dan mafia migas, sudah merasa berkuasa selayaknya Presiden dan karenanya layak mendapat fasilitas setingkat presiden, meski dengan cara menekan perusahaan-perusahaan migas.

Dirmaaan...Dirman. Cukuplah sudah membohongi publik, buka topengmu Dirman.